- Faktor Internal
Sebagai seorang
pribadi, pemimpin tentu memiliki karakter unik yang membedakannya dengan orang
lain. Keunikan ini tentu akan berpengaruh pada pandangan dan cara ia memimpin.
Ada karakter bawaan yang menjadi ciri pemimpin sebagai individu, ada kompetensi
yang terbentuk melalui proses pematangan dan pendidikan.
Menurut Mustodipradja,
dengan mengutip Rothwell dan Kazanas, kompetensi pemimpin merupakan cerimanan kepribadian (traits) individual yang bersifat permanen
yang dapat mempengaruhi kinerja
seseorang. Selain traits dan Spencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kompetensi
lainnya, yatu berupa motives, self koncept.knowledge, dan skill.
Menurut review Asropi (2002), berbagai kompetensi tersebut
mengandung makna sebagai berikut
: Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dan tanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atau informasi. Motives adalah sesuatu yang
selalu dipikirkan atau diinginkan
seseorang, yang dapat mengarahkan, mendorong,
atau menyebabkan orang melakukan suatu tindakan. Motivasi dapat
mengarahkan seseorang untuk menetapkan
tindakan-tindakan yang memastikan dirinya mencapai tujuan yang diharapkan. Self concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimiliki seseorang tentang dirinya sendiri; yang memberikan keyakinan
pada seseorang siapa dirinya. Knowledge adalah informasi yang dimiliki seseorang dalam suatu bidang tertentu. Skill adalah kemampuan untuk
melaksanakan tugas tertentu, baik mental atau
pun fisik.
Berbeda dengan
keempat karakteristik kompetensi lainnya yang
bersifat intention dalam diri individu, skill bersifat action. Skill menjelma sebagai perilaku yang di dalamnya terdapat motives, traits, self concept, dan knowledge.
Dengan mengutip pendapat Spencer
(1993) dan Kazanas (1993), Asropi
menjelaskan bahwa kompetensi
kepemimpinan secara umum dipilah
menurut jenjang, fungsi, atau bidang, yaitu
kompetensi berupa : result orientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality,
technical expertise, analytical thinking, conceptual thinking, team
work, service orientation, interpersonal awareness, relationship building,
cross cultural sensitivity, strategic thinking, entrepreneurial orientation, building organizational commitment, dan empowering
others, develiping others. Kompetensi-kompetensi tersebut pada umumnya merupakan kompetensi jabatan manajerial yang
diperlukan hampir dalam semua posisi manaj erial.
Ke 18 kompetensi
yang diidentifikasi Spencer dan Kazanas tersebut
dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinan
berikut : pimpinan puncak, pimpinan menengah, dan pimpinan pengendali operasi teknis (supervisor).
Kompetensi pada pimpinan
puncak adalah result (achievement) orientation, relationship building,
initiative, influence, strategic thinking, building organizational commitment, entrepreneurial orientation, empowering others,
developing others, dan felexibilty.
Adapun kompetensi
pada tingkat pimpinan menengah lebih
berfokus pada influence, result (achievement) orientation, team work, analitycal thinking,
initiative, empowering
others, developing others, conceptual thingking, relationship building, service orientation, interpersomal awareness, cross cultural sensitivity, dan technical expertise. Sedangkan pada tingkatan supervisor
kompetensi kepemimpinannya
lebih befokus pada technical expertise, developing others, empowering others, interpersonal understanding, service orientation,
building organzational commitment,
concern for order, influence, felexibilty,relatiuonship building, result (achievement)
orientation, team work, dan cross cultural sensitivity.
Asropi
meyakinkan bahwa terdapat 5 (lima) praktek mendasar pemimpin yang memiliki
kualitas kepemimpinan unggul, yaitu; (1) pemimpin yang
menantang proses, (2) memberikan inspirasi
wawasan bersama, (3) memungkinkan orang
lain dapat bertindak dan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan (5) memotivasi bawahan.
Adapun ciri
khas manajer yang dikagumi sehingga para bawahan bersedia mengikuti perilakunya adalah, apabila manajer memiliki sifat jujur, memandang masa depan, memberikan inspirasi, dan memiliki kecakapan teknis
maupun manajerial. Dalam hubungannya dengan kualitas kepemimpinan manajer, kunci dan kualitas kepemimpinan yang unggul adalah
kepemimpinan yang memiliki paling
tidak 8 sampai dengan 9 dari 25 kualitas kepemimpinan yang terbaik.
Dinyatakan, pemimpin yang berkualitas tidak
puas dengan "status quo" dan memiliki keinginan untuk terus mengembangkan dirinya.
Beberapa kriteria kualitas
kepemimpinan manajer yang baik antara lain, memiliki komitmen organisasional yang kuat, visionary, disiplin din yang tinggi, tidak melakukan kesalahan yang
sama, antusias, berwawasan luas, kemampuan komunikasi yang tinggi, manajemen waktu, mampu menangani setiap tekanan,
mampu sebagai pendidik atau guru bagi bawahannya, empati, berpikir positif, memiliki dasar spiritual yang kuat, dan
selalu siap melayani.
- Faktor Eksternal
Faktor eksternal jika
dikaitkan dengan formula Hersey dan Blanchard, adalah faktor bawahan dan
situasi. Faktor bawahan adalah faktor yang disebabkan oleh karakter bawahan, di
dalamnya terkait dengan status sosial, pendidikan, pekerjaan, harapan, ideologi,
agama dll. Faktor-faktor itu tentu akan
menentukan bagaimana pemimpin mengatur dan mempengaruhinya. Jika bawahan itu adalah siswa, maka
pemipimpin akan menjalan pola kepemimpinan sesuai dengan karakter siswa.
Karakter siswa pun akan berbeda-beda, ada yang belum dewasa sehingga pemimpin
mendekatinya dengan pendekatan pedagogi, ada pula siswa yang sudah dewasa
sehingga memerlukan pendekatan andragogi.
Faktor
eksternal lain adalah faktor situasi. Situasi ini berkaitan dengan aspek waktu,
tempat, tujuan, karakteristik organisasi dll.
Bertalian dengan waktu, perkembangan
ilmu dan pengetahuan mempengaruhi cara pandang dan budaya manusia.
Perkembangan itu berdampak pula pada perubahan konsep kepemimpinan. Hasbi Umari (2006:1-4) memaparkan bahwa ada perkembangan dalam
kepemimpinan dilihat dari konteks sosial umat Islam.
Menurut
Umari, Ada tiga fase dalam periodesasi kepemimpinan umat di Indonesia. Setiap fase menunjukan genesis kepemimpinan yang khas. Pertama,
fase ulama. Pada fase ini, seseorang menjadi
pemimpin umat karena is memiliki pengetahuan agama yang mendalam dan
menjadi rujukan umat. Ia melewati masa awal hidupnya di pesantren
sebagai santri dan menghabiskan sisa hidupnya jugs
di pesantren sebagai kiyai.
Kedua, fase organisator. Sebagai reaksi terhadap kebijakan politis kolonial, mungkin antara lain politik etis, masyarakat
khususnya umat Islam membentuk organisasi (sosial, ekonomis, atau politis)
seperti Syarikat Islam, Muhanunadiyah, NU, Persis, Jami`atul
Khair, dan lain-lain. Pada fase ini, pemimpin
Islam adalah pemimpin organisasi Islam. Tentu raja, karir kepemimpinan kini tidak dimulai di pesantren, tetapi dari organisasi. Orang
menapak, secara berangsur-angsur atau melompat,
hierarki organisasi. Variabel kepemimpinan yang utama
tidak lagi pengetahuan agama yang mendalam, tetapi keterampilan
organisasi (organization skill), termasuk lobbying dan kasak kusuk. Yang sampai ke
tingkat nasional, melalui jenjang organisasi, pada umumnya, walaupun
tidak selalu, adalah orang yang mempunyai pijakan loka1.
Fase ketiga, fase pemuka pendapat (opinion leader). Pada fase pertama, pemimpin ulama lahir dan dibesarkan di pesantren. Pada
fase kedua, pemimpin organisator lahir dan dibesarkan di
organisasi. Dan bagaiinana pula dengan pemimpin umat
di besarkan melalui media massa.. Ini adalah dampak perkembangan teknologi
informasi dan komunikasi yang berdampak pada
kepemimpinan umat. Pada fase ini
yang dianggap sebagai pemimpin umat adalah para empu
yang (dianggap) pandai melontarkan isu-isu penting untuk dijadikan
agenda media massa. Mereka menulis di media, atau menghadiri berbagai seminar dan diskusi. Atau, mereka mampu menyedot massa yang banyak dalam acara-acara mereka.
Apabila media massa yang mengagendakan isu-isu mereka itu lokal, mereka menjadi
pemimpin umat berskala lokal. Apabila
medianya nasional, merekamenjadi pemimpin umat berskala nasional.
Pengikut fase pertama, santri; fase kedua, anggota organisasi;
fase ketiga, "fans" (penggemar). Pada fase ketiga, pemimpin umat
(Islam) menjadi "idola". Ada dua
jenis pemimpin umat pada fase ketiga ini' yaitu:
Pertama, mubalig. Ia
mungkin memulai kariemya pada tingkat lokal. la berbicara pada majelis-majelis taklim atau stadiun radio. Ceramahnya
direkam, dan rekamannya direproduksi dan
dijual secara nasional. Media massa menyiarkan
ceramahnya dan menokohkannya. Tidak perlumubaligituberasal dan pesantren; tidak perlu ia menguasai pengetahuan agama
yang mendalam; juga tidakperlu ia memiliki
keterampilan komunikasi, termasulc ketnampuan menyiarkan agama sebagai pop culture. Karena digemari oleh orang
banyak, para mubaligh menjadi celebrities.
Dunia celebrities sudah lama dihuni oleh para entertainers, misalnya artis, pelawak, dan perancang mode.
Maka, terjadilah tumpang tindih; mubaligh
menjadi artis, artis menjadi mubaligh.
Kedua, cendekiawan. Apabila mubaligh lebih
banyak menyentuh ranah afektif, cendekiawan bergerak di
ranah kognitif. Ia dibesarkan lewat kerja sama kampus dengan media massa. Melalui tulisan di media, seminar, dan diskusi, paracendekiawan membentukjanngan pengikulnya
Bukanmenuduh, umumnya pengetahuan agama mereka
sangat dangkal. Akan tetapi, analisis mereka
tentangpersoalan-persoalan umat sangat tajam. Mereka membentuk opini, sikap, dan akhimya tindakan umat.
Perkembangan Zaman pun memperlihatkan bahwa ada tiga
liran teori kepemimpinan yang mengalami
perubahan pandangan seiring dengan waktu . Studi
kepemimpinan yang pada awal perkembangannya cenderung bersifat induktif murni menempati posisi sentral dalam
literatur manajemen dan perilaku keorganisasian
pada beberapa dekade terakhir.
Secara umum
kajian perkembangan riset dan teori kepemimpinan dapat dikategorikan
menjadi tiga tahap penting. Pertama, tahap awal studi tentang
kepemimpinan menghasilkan teori-teori sifat kepemimpinan (trait
theories), yang mengasumsikan bahwa seseorang dilahirkan untuk menjadi
pemimpin dan bahwa dia memiliki sifat atau atribusi personal yang
membedakannya dari mereka yang bukan pemimpin. Kedua, karena muncul kritik
terhadap sulitnya mengelompokkan dan memvalidasi sifat pemimpin, kemudian muncul teori-teori
perilaku kepemimpinan (behavioral theories). Pada teori ini
penekanan yang semula diarahkan pada sifat pemimpin dialihkan kepada perilaku dan
gaya yang dianut oleh para pemimpin. Dengan demikian, berdasarkan teori
ini, agar organisasi dapat berjalan secara efektif, terdapat penekanan
terhadap suatu gaya kepemimpinan terbaik (one best way of leading). Ketiga, berdasarkan anggapan, bahwa
baik teori-teori sifat kepemimpinan maupun teori-teori perilaku kepemimpinan memiliki kelemahan yang
sama yaitu mengabaikan peranan penting
faktor-faktor situasional dalam menentukan efektifitas kepemimpinan, kemudian muncul teori-teori kepemimpinan situasional (situational
theories). Dan pengembangan kelompok teori yang terakhir ini, maka terjadi
perubahan orientasi dari `one best way leading' menjadi 'context-sensitive
leadership' (Dewi, Piramida Vol.V no.1, 2009).
Dilihat dari faktor tempat pun, konsep kepemimpinan pun akan
berubah. Dilihat dari cakupannya, kita
bisa mengkategorikan kepemimpinan lokal,
regional, nasional, bahkan internasional.
Semakin luas cakupan kepemimpinan
akan berdampak pada tuntutan nilai-nilai
universal yang lebih luas. Semakin
sempit cakupan (lokal bahkan pada level organisasi) akan muncul tuntutan warna loka sesuai dengan
kultur masayarakat setempat. Tulisan La
Ode Turi (Budaya Kepemimpinan Lokal dalam
Pelaksanaan MBS, Universitas Kendari) dan Tulisan Dewi Kurniasih (Kepemimpinan Politik Orang
Sunda, Unikom Bandung) merupakan
contoh pendapat bahwa kepemimpinan di wilayah lokal, harus memperhatikan aspek
budaya lokal jika kepemimpinan itu ingin efektif.
Agama dan ideologi pun tentu berpengaruh terhadap kepemimpinan. Komunitas masyarakat Islam, tentu akan
menggunakan nilai-nilai Islam dalam
penyusunan konsep dan aplikasi kepemimpinannya. Demikian pula
masyarakat Kristen, Budha,
dll. Ideologi komunis akan menjalankan kepemimpinan dengan ideologi
komunis, demikian pula ideologi liberal.
Posting Komentar