Sarjana Sigit Wahyudi
Jurusan Sejarah Fakultas
Ilmu Budaya Universitas Diponegoro Semarang
Dimuat
dalam Prosiding Seminar Nasional “Membangun Masyarakat Indonesia dalam
Perspektif Budaya”, Semarang 27 Oktober 2011 FIB Undip hlm. 98-112.
Abstract
In Indonesia,
especially in Central Java, there are plural societies which need the presence
of a leader who fits them best. Therefore, a figure who has the characteristics
of leadership which fits the interest of his supporters is needed. The
characteristics of leadership which are offered here are the traditional and
Islamic model, including the model of “etika
kedzaifan”. A figure, tipology, and characteristics which are embedded in
the mind of a leader are what the society need.
Keywords:
leader, figure, type, characteristics, model, development, society.
1. Pendahuluan
Dalam
masyarakat Jawa Tengah dan masyarakat Indonesia umumnya, dibutuhkan kehadiran seorang
pemimpin yang selaras baik dengan selera masyarakat pendukungnya maupun
kondisi masyarakat yang majemuk. Berkaitan dengan hal itu, dalam artikel saya akan membahas
tentang tipologi
kepemimpinan dan sifat
pemimpin yang sesuai dengan cita rasa masyarakat Jawa Tengah. Harapan
terhadap munculnya tipe dan sifat-sifat
pemimpin yang ideal pada dasarnya merupakan cerminan dari kerinduan masyarakat
terhadap pemimpin mereka.
Dalam artikel ini juga akan dibicarakan tentang sifat pemimpin berdasarkan model kepemimpinan tradisonal Jawa dan Islam. Dalam model kepemimpinan tradisional Jawa,
khususnya Jawa Tengah, seorang pemimpin ditekankan untuk mengutamakan kerukunan dan hormat kepada
pencipta, leluhur, dan orang tua. Sementara itu dalam model kepemimpinan Islam diterangkan tentang pentingnya
sifat-sifat pemimpin pasca-Nabi Muhammad SAW. Setelah Nabi
Muhammad SAW wafat, kepemimpinan
Islam
dipegang oleh para
khalifah dan akhirnya terfragmentasi ke dalam kelompok-kelompok, di antaranya yang terbesar adalah
Sunni dan Syiah. Kedua kelompok ini mempunyai pemahaman tentang kepemimpinan yang jauh berbeda walaupun
keduanya menggunakan sumber yang sama. Hal itu belum
termasuk kelompok-kelompok
kecil yang lain, misalnya kelompok Islam sekular.
Perbedaan pemahaman mengenai kepemimpinan Islam terasa
pula di Indonesia. Sebagian tokoh Islam, salah satunya adalah Abdurrahman
Wahid, berusaha meredam perbedaan pemahaman itu dengan menyodorkan solusi tentang bagaimana cara mengatasi
masyarakat Indonesia yang plural
terutama menyangkut masalah kepemimpinan baik dalam konteks kehidupan bermasyarakat maupun bernegara. Namun dalam perkembangan patut
disayangkan bahwa dalam setiap pemilihan pemimpin baik di tingkat desa, kota maupun pusat telah dinodai dan dikotori
dengan
penyelewengan,
janji-janji
manis dalam kampanye yang tidak ditepati setelah seseorang terpilih sebagai
pemimpin, dan praktik politik
uang. Kondisi ini
terus
berjalan seolah-olah tanpa tersentuh oleh hukum. Lalu, bagaimanakah kerinduan
masyarakat kepada pemimpinnya
yang notabene selalu diidolakan dan didambakan terutama mengenai tipe dan sifat-sifat ideal yang
melekat pada seorang
pemimpin?
2. Hipotesis
tentang
Kepemimpinan
Ketika membahas
kepemimpinan kita akan berbicara antara lain mengenai perihal pemimpin, konsep kepemimpinan, dan mekanisme pemilihan pemimpin. Sebelum membicarakan
lebih jauh soal kepemimpinan, ada
baiknya
dilakukan peninjauan terlebih dahulu definisi konsep pemimpin. Pendefinisian ini dapat membantu kita untuk memahami
dan melakukan pembahasan menurut alur yang sistematis.
Banyak
definisi tentang pemimpin baik itu menurut ahli politik, ekonomi, sosial, antropologi
(budaya) maupun agama.
Saya
hanya akan menyampaikan definisi yang relevan dengan pokok pembahasan. Seorang ahli sosiologi, Soerjono
Soekanto, menghubungkan kepemimpinan (leadership)
dengan kemampuan
seseorang sebagai pemimpin (leader) untuk mempengaruhi orang lain (anggotanya),
sehingga orang lain itu bertingkah
laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpinannya (Soekanto, 1984: 60). Ahli
sosiologi yang lain, Wahyusumijo, lebih melihat kepemimpinan sebagai suatu proses dalam mempengaruhi
kegiatan-kegiatan
seseorang atau sekelompok
orang
dalam usahanya mencapai
tujuan yang sudah ditetapkan (Wahyusumijo, 1984: 60).
Di pihak lain, dalam antropologi budaya, muncul
pandangan yang membedakan antara kepemimpinan sebagai suatu kedudukan sosial dan
sebagai suatu proses sosial (Koentjaraningrat,
1969: 181). Kepemimpinan sebagai kedudukan sosial merupakan kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki
oleh seseorang atau suatu badan. Sementara sebagai
suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau suatu badan
yang mendorong gerak
warga masyarakat.
Apabila
kepemimpinan diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain sehingga mereka mengikuti
kehendaknya, maka seseorang
itu
dapat disebut mempunyai
pengaruh terhadap oarang lain. Pengaruh itu dinamakan kekuasaan atau wewenang. Istilah
kekuasaan dalam hal ini merujuk pada kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang atau pihak lain, sedangkan wewenang merupakan kekuasaan seseorang atau sekelompok orang yang mendapat dukungan atau
pengakuan dari masyarakat.
Dalam hubungan dengan
kepemimpinan, Kartini Kartono (1982) mengatakan bahwa kepemimpinan harus dikaitkan dengan
tiga hal penting yaitu kekuasaan,
kewibawaan, dan kemampuan.
Sementara itu dilihat dari sudut pandang agama
(Islam), istilah kepemimpinan
berasal dari kata ‘pemimpin’, artinya orang yang berada di
depan dan memiliki pengikut,
terlepas
dari persoalan apakah orang
yang
menjadi pemimpin itu menyesatkan
atau tidak. Dalam konteks Islam, setidaknya ada dua konsep penting yang berkaitan
dengan kepemimpinan, yaitu imamah dan khilafah. Masing-masing kelompok Islam memiliki
pendefinisian berbeda tentang kedua konsep itu, meskipun ada juga yang menyamakannya.
Kaum Sunni menyamakan pengertian khilafah dan imamah. Dengan perkataan lain, imamah disebut juga sebagai khilafah. Bagi kaum
Sunni, orang yang
menjadi khilafah adalah penguasa tertinggi yang
menggantikan Rasulullah SAW. Oleh karena
itu khilafah juga disebut sebagai imam (pemimpin) yang wajib ditaati
(As-Salus, 1997: 16).
Sebaliknya, kaum Syiah membedakan
pengertian khilafah dan imamah. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah kepemimpinan Islam
setelah Rasulullah SAW wafat. Kaum Syiah bersepakat bahwa pengertian imam dan khilafah itu sama ketika Ali bin Abi Thalib diangkat menjadi
pemimpin. Namun sebelum Ali bin
Abu Thalib menjadi pemimpin,
mereka membedakan pengertian antara imam dan khilafah. Abu Bakar, Umar bin Khattab, dan Ustman adalah khalifah namun mereka bukanlah imam (Amini, 205: 18). Dalam
pandangan kaum Syiah, sikap seorang imam haruslah mulia sehingga menjadi
panutan para pengikutnya. Imamah didefinisikan
sebagai kepemimpinan masyarakat umum, yakni seseorang yang mengurus persoalan
agama dan dunia sebagai wakil dari Rasulullah
SAW. Rasulullah SAW yang menjaga agama
dan kemuliaan umat wajib dipatuhi dan diikuti.
Imam mengandung makna lebih sakral
daripada khalifah. Secara implisit kaum Syiah menganut pandangan bahwa khalifah hanya mencakup ranah jabatan politik, tidak
melingkupi ranah spiritual-keagamaan; sedangkan imamah meliputi seluruh
ranah kehidupan manusia baik itu agama maupun politik.
Seperti halnya kaum Sunni dan Syiah, kalangan Islam sekular memiliki
pandangan sendiri tentang kepemimpinan. Konsep kepemimpinan kelompok Islam sekular dalam hal ini cenderung mengacu pada kepemimpinan
model Barat.
Meskipun kelompok Sunni,
Syiah, dan Islam sekular mempunyai
sudut pandang yang berbeda mengenai kepemimpinan, ketiganya menunjukkan kesepahaman bahwa suatu masyarakat haruslah memiliki seseorang pemimpin. Setiap masyarakat dengan
demikian tidak mungkin dapat dipisahkan dari masalah kepemimpinan.
3. Pemilihan Pemimpin dan Legitimasi Kepemimpinan
3.1
Cara Pemilihan Pemimpin
Derap
pembangunan di Indonesia
baik di kawasan pedesaan
maupun
perkotaan sangat bergantung pada kepemimpinan para kepala daerah. Menurut
Koentjaraningrat (1980: 201), pemilihan kepala-kepala daerah, terutama di Jawa
Tengah, sebagian
besar masih memperhatikan faktor keturunan. Kepala-kepala daerah yang memerintah pada masa
belakangan masih
keturunan dari kepala daerah yang berkuasa pada masa sebelumnya. Hal itu
dapat dilihat dari dari
silsilahnya.
Berdasarkan
laporan mengenai struktur pemerintahan desa yang disusun oleh DPRD Jawa Tengah dapat
ditarik simpulan bahwa
proses pemilihan kepala
desa dilakukan oleh suatu
panitia di bawah pimpinan camat.
Sebagai calon kepala desa atau pimpinan desa, maka realitanya dapat disimak
pada kutipan di bawah ini.
Dalam praktiknya, para calon yang dipilih biasanya bukan orang–orang yang memiliki
kemampuan tapi orang-orang
kaya. Ini disebabkan kebiasaan warga desa memilih seorang calon bukan
berdasarkan kemampuan calon itu,
melainkan berdasarkan banyaknya pemberian kepada mereka. Ini malahan nampak
lebih jelas di desa–desa yang makmur, sehingga pemilihan lurah menjadi suatu gelanggang
pertikaian yang ramai sekali. Alasan utama dari konflik itu berpangkal pada
tanah bengkok atau tanah lungguh yang diberikan pada calon yang sukses (Koentjaraningrat,
1984: 201).
Dengan
melihat kutipan di atas tampak bahwa pemimpin desa dipilih
tidak hanya didasarkan
pada
keturunan, namun juga pada pemberian yang biasanya berupa
uang. Para calon kepala desa berusaha melakukan pendekatan kepada para pemilih
terutama pada masa kampanye. Tidak mengherankan jika para calon kepala desa pada
masa kampanye melakukan berbagai cara dalam rangka mendapatkan dukungan dari
warga masyarakat yang telah memiliki hak pilih. Mereka bahkan tidak segan-segan untuk melakukan
praktik politik uang sambil menebar janji-janji manis kepada warga masyarakat agar mau
memilihnya. Sudah barang tentu hal
ini tidak dibenarkan baik oleh
negara maupun agama. Namun
demikian
praktik semacam itu tetap
berjalan dengan lancar dan seolah-olah tidak tersentuh oleh hukum.
Sejalan dengan hal itu Sartono Kartodirdjo (1982: 226)
menyatakan bahwa latar
belakang kepemimpinan dalam masyarakat
tradisional ataupun pedesaan dipengaruhi oleh kelahiran, kekayaan, dan status. Sebagaimana
dikatakan oleh Prasadjo (1982: 54), latar belakang politik dan agama juga
memiliki pengaruh yang penting dalam kepemimpinan di pedesaan.
3.2
Asal-usul Legitimasi Kepemimpinan
Pemimpin yang
terpilih harus mendapatkan legitimasi dari anggotanya atau warga
masyarakat yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin dapat memiliki wewenang untuk memimpin secara resmi setelah
mendapat legitimasi berdasarkan
pada prosedur
yang telah ditetapkan dalam adat-istiadat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang
bersangkutan. Prosedur itu tentu saja dapat berbeda baik antara masyarakat yang satu
dan yang lain maupun dari waktu ke waktu.
Dalam
masyarakat tradisional, misalnya, legitimasi atas kepemimpinan seseorang pada
umumnya dilakukan melalui rangkaian
upacara yang melibatkan kehadiran roh nenek moyang atau dewa-dewa. Pada zaman kerajaan, prosedur untuk
melegitimasi kepemimpinan seseorang dapat dilakukan melalui pemilihan, pemilihan
bertingkat atau pemilihan oleh sebagian
masyarakat. Wahyu,
nurbuat, pulung, ngalamat, dan mimpi juga merupakan
unsur-unsur yang berperan penting baik dalam pemilihan pemimpin maupun legitimasi atas kepemimpinannya (Kartodirdjo, 1973: 8).
Oleh karena itu, untuk mendapatkan kekuasaan dalam
kepemimpinan, seseorang
harus menempuh berbagai jalan (laku)
yang panjang. Kekuasaan dapat juga diperoleh
melalui keturunan
atau lewat kekuatan fisik. Pada
zaman modern ini,
kepemimpinan dapat pula diperoleh melalui pendidikan dan pemilihan berdasarkan keahlian
atau spesialisasi. Untuk menduduki jabatan pada berbagai level tidak lagi didasarkan terutama pada keturunan, melainkan pada tingkat pendidikan formal (Sutherland,
1983: passim).
Calon pemimpin yang berhasil terpilih harus mendapatkan pengakuan
dari masyarakat. Masyarakat
Indonesia, terutama
yang
berada di daerah pedesaan, masih mempercayai bahwa seorang pemimpin
mempunyai wibawa, wewenang, kharisma, dan kekayaan. Persyaratan ini penting bagi para pemimpin di tingkat kota atau pedesaan, sebab mereka pada
masa sekarang
atau zaman demokrasi dipilih secara langsung oleh rakyat.
4.
Model
Kepemimpinan
4.1
Model Kepemimpinan Tradisional
Kaidah dasar
kehidupan masyarakat Jawa lebih mengutamakan prinsip kerukunan dan sikap hormat
kepada alam, pencipta,
leluhur, guru, orang tua, bangsa, negara, dan agama (Magnis-Suseno, 1985: 36-38). Orang
Jawa umumnya juga mengutamakan
keselarasan dalam hidup bermasyarakat (Mulder, 1981: 17). Pandangan hidup dan pola pikir
yang demikian sudah barang tentu sangat mempengaruhi masyarakat Jawa
dalam meletakkan dasar-dasar
kemasyarakatan dan kebudayaan. Apabila
hal ini dihubungkan
dengan masalah kepemimpinan, maka seorang
pemimpin sedapat mungkin harus mampu memperlihatkan sikap hidup yang sederhana, jujur, adil,
bertenggang rasa (tepa selira),
hemat, disiplin, dan taat
kepada hukum (Koentjaraningrat, 1981: 64).
Berbagai
piwulang dan pitutur telah mengajarkan
tentang sifat-sifat
seorang pemimpin. Dalam
ajaran Ki Hajar Dewantara
sebagai tokoh pendidikan, misalnya, dinyatakan bahwa seorang pemimpin harus mempunyai
tiga pilar, yaitu: “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya
Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”.
Demikian pula dalam kakawin Ramayana
dan Mahabarata, dinyatakan bahwa seorang pemimpin harus memperlihatkan
sikap yang merujuk pada ajaran
tentang
Hasta
Bhrata, yaitu mencontoh sikap delapan
dewa, di antaranya
Dewa
Surya, Candra,
Bayu, dan
Baruna Dewa Air yang antara lain mempunyai sifat sabar. Dalam filsafat Jawa pun
terdapat banyak istilah tentang sifat-sifat pemimpin yang yang dikenal
dengan “empat t”, yaitu teteg–sebagai pengayom, tatag–berani,
tangguh–kuat, dan tanggon–pantang mundur, mrantasi sabarang
karya (gawe).
4.2
Model Islam
dan Etika Kedaifan
Dalam era pascamoderen yang mengagungkan
multikulturalisme sebagai pandangan hidup, etika kedaifan identik dengan
menghargai orang lain (liyan) atau
menganggap diri sebagai sosok yang lemah dan membutuhkan keberadaan orang lain
dalam menjalani kehidupan bersama yang semakin berat. Kehidupan dalam etika
kedaifan, menurut Goenawan Muhammad sebagaimana disitir oleh Triyanto
Tiwikromo, sama halnya dengan tidak menganggap orang
lain seperti yang dikatakan oleh Sartre yaitu sebagai neraka. Semangat multikulturalisme dan
demokrasi menempatkan rakyat sebagai sahabat, kanca,
untuk mencapai masyarakat yang aman dan sejahtera (Tiiwikromo, 2008: 4)
Dalam pandangan Islam, seorang pemimpin harus mempunyai kualitas
spiritual, terbebas dari segala dosa, memiliki kemampuan sesuai dengan
realitas, tidak terjebak pada dan
menjauhi kenikmatan dunia,
dan harus memiliki sifat adil. Adil dalam hal ini dapat dipahami sebagai cara menempatkan sesuatu pada
tempatnya yang layak. Penerapan sifat keadilan
oleh seorang pemimpin dapat dilihat dari bagaimana caranya mendistribusikan sumberdaya politik, ekonomi, sosial, dan budaya kepada rakyatnya.
Melihat
kemajemukan
masyarakat Indonesia,
maka tantangannya adalah
bagaimana cara mengembangkan pluralisme dalam konteks membangun kepemimpinan dan kedaulatan
bangsa. Fungsi kepemimpinan adalah sebagai
ulil amri dan khadimul ummah, artinya amanah jabatan dan kekuasaan harus digunakan
sesuai dengan tuntutan
Allah dan Rasul–Nya,
berlaku adil, dan
melindungi kepentingan masyarakat.
Dengan
demikian, meskipun Islam adalah agama mayoritas, jangan sampai kepentingan umat
Islam mengakibatkan negara
lebih banyak melayani kepentingan segelintir orang yang mengusai aparatur
negara. Sementara mereka yang berusaha menyuarakan ide-ide demokrasi, pluralisme, dan
perlindungan hak-hak
asasi manusia cenderung dituding tidak memiliki nasionalisme.
Menurut
Abdurrahaman Wahid (1988), terdapat
lima jaminan dasar dalam menampilkan universalisme Islam, baik pada perorangan
atau kelompok. Kelima jaminan dasar yang dimaksud meliputi keselamatan fisik masyarakat
dan tindakan badani di luar ketentuan hukum, keselamatan keluarga dan
keturunan, keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum,
dan keselamatan profesi.
Dalam pandangan Abdurahman Wahid, kelima jaminan dasar umat
manusia akan sulit diwujudkan tanpa
adanya kosmopolitanisme peradaban Islam. Kosmopolitanisme
peradaban Islam harus menghilangkan batasan etnis, pluralisme budaya, dan heterogenitas
politik. Hal ini akan tercapai apabila terjadi keseimbangan antara
kecenderungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berpikir semua masyarakat termasuk
kalangan
nonmuslim. Oleh
karena itu, rahmatan lil alamin harus
dibuktikan dalam wujud
kehidupan bermasyarakat dan berbangsa serta bernegara. Di samping itu, kosmopolitanisme
Islam mengacu pada modernisasi religiusitas, artinya harus berlandaskan pada keagamaan dan pembebasan
masyarakat untuk melakukan amar ma’ruf
nahi mungkar. Hal ini berartik bahwa konsistensi terhadap demokrasi dan hak
asasi manusia mutlak diperlukan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa dalam universalisme Islam terdapat beberapa hal yaitu toleransi,
keterbukaan sikap, kepedulian terhadap unsur-unsur utama kemanusiaan, dan perhatian dengan kearifan akan keterbelakangan
dan kebodohan serta kemiskinan (Wahid, 1988).
Universalisme
Islam juga berarti kesalehan
sosial (Munir, 2005). Meskipun demikian, dalam konteks yang demikian bukan
berarti bahwa negara Islam maupun kepemimpinan
Islam
adalah yang ideal. Universalisme Islam dan pluralisme
lebih
tepat dipahami sebagai
ruh dalam konteks membangun kepemimpinan nasional. Bagi bangsa Indonesia,
syariat tidak harus menjadi fondamen dan jiwa dari agama dan negara.
Perlu
diperhatikan pula bahwa
multikulturalitas bangsa Indonesia dapat bermakna ganda, ibarat dua sisi mata pedang. Di
situ sisi multikulturalitas itu merupakan
modal sosial yang dapat menghasilkan energi positif dan memperkaya kultur bangsa, namun di sisi sebaliknya juga dapat
menjadi energi negatif
berupa ledakan destruktif yang setiap
saat dapat menghancurkan struktur dan pilar-pilar bangsa. Masalah yang krusial
adalah bagaimana cara mengatasi dan mencari solusi atas
perpecahan yang terjadi akibat keanekaragaman
itu tidak bisa dikelola dengan kebijakan politik yang demokratis dan egaliter
termasuk di dalamnya pola-pola kepemimpinan. Apabila ditangani dengan baik,
keanekaragaman itu justru
merupakan aset dan kekayaan bangsa.
Oleh
karenanya, penting dibangun hubungan
intersubjektif
yang mampu melahirkan
keikhlasan yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran dan kejujuran. Keikhlasan merupakan peleburan
ambisi pribadi ke dalam pelayaran kepentingan seluruh bangsa. Harus ada
konsensus antarpemimpin dan ketundukan pada keputusan yang dirumuskan sang pemimpin. Untuk mencapai hal
itu ada dua
prasyarat yang harus dipenuhi,
yaitu kejujuran sikap dan ucapan yang disertai dengan sikap mengalah untuk kepentingan
bersama (Wahid,
2006).
4.3
Pengembangan Sifat
Pemimpin
Sifat pemimpin
harus dikembangkan sendiri karena sifat seseorang berbeda satu sama lain.
Kepribadian ikut mempengaruhi sifat dan perilaku kepemimpinan seseorang. Pemimpin harus senantiasa
meningkatkan kemampuan, mempraktikkan
keterampilan, mencari peluang, dan mengembangkan potensi anak buah. Sebagai pedoman bagi pemimpin
adalah “perlakukan
orang lain sebagaimana Anda
ingin diperlakukan”. Dengan cara itu seorang pemimpin berusaha memandang suatu
keadaan dari sudut pandang orang lain atau tenggang rasa.
Merujuk pada pendapat Geofrey G. Meredith, kualitas pemimpin dapat diukur dengan
memperhatikan sejumlah hal berikut: (1) yakinkan
bahwa dirinya seorang pemimpin, (2) banyak
orang yang mencari bapak untuk minta dipimpin atau bertanya, (3) kembangkan dan terapkan ide-ide
baru, (4) mainkan
peranan aktif dalam kehidupan masyarakat, (5) tingkatkan
kekuasaan dan hilangkan kelemahan, (6) tingkatkan
program dan rencana
tentang kepemimpinan, (7) belajarlah
dari kesalahan terdahulu, (8) berorientasilah kepada hasil dan selesaikan sesuatu yang
telah dimulai, (9) gunakan
kekuatan sebagai pemimpin untuk membantu orang lain, (10) yakinkan orang lain tentang
kemampuan, (11) dengarkan
masukan, saran, dan nasihat atau kritik sekalipun, dan (12) lakukan perubahan ke arah
kemajuan (Meredith, t.t.: 18-21).
5.
Hubungan Pemimpin dan Rakyat
dalam Pembangunan
Dalam
membicarakan hubungan antara pemimpin
dan
rakyat dalam pembangunan,
perlu dilihat berbagai
variabel yang dapat dikelompokkan ke dalam independent
variable dan dependent
variable. Sebagai independent variable adalah bahwa seorang pemimpin
seharusnya mempunyai dasar antara lain mengabdi pada kepentingan umum, memperhatikan rakyat baik di dalam maupun di luar
pekerjaan, dan menciptakan
komunikasi yang lancar dengan bawahan (rakyat). Dependent variable atau variabel yang dipengaruhi
meliputi
antara lain
semangat kerja, displin kerja, gairah kerja, dan hubungan yang harmonis dengan bawahan. Kedua variabel ini akan
mempengaruhi keberhasilan kepemimpinan seseorang dalam sebuah lembaga, baik itu di tingkat desa, kota ataupun pusat. Hubungan
antara sejumlah variable yang telah disebutkan di atas dengan keberhasilan kepemimpinan dapat dilihat secara geometrik sebagai
berikut.
![]() |
Gambar 1. Variabel-variabel yang mempengaruhi keberhasilan
kepemimpinan
Pendapat lain dikemukakan oleh Kartini Kartono (1982: 31), yang menyatakan bahwa keberhasilan
pemimpinan berhubungan dengan pengelolaan kekuasaan, kewibawaan, dan kemampuan. Keberhasilan seorang pemimpin
juga dapat ditentukan
dari
bentuk kerja sama dalam pembangunan yang
tidak hanya untuk anggotanya, namun dari masyarakat untuk masyarakat (Syawani,
1978: iii).
Pembangunan di sini
dapat
diartikan sebagai usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan
perubahan terencana
yang dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah menuju modernitas
dalam rangka pembinaan bangsa (Siagian, 1981: 99). Seorang pemimpin harus
mempunyai kekuasaan yang bersumber pada hak milik kebendaan, kedudukan,
kekuasaan, birokrasi, dan juga kemampuan khusus (supranatural) yang lain
daripada orang biasa. Menurut Max Weber, kekuasaan itu cenderung pada kekuasaan
yang kharismatik. Selain itu, seorang pemimpin biasanya juga mempunyai legitimasi
berupa benda-benda pusaka dan sebagainya.
Masyarakat
tidak dapat bergerak tanpa adanya pemimipin sebagai mediator dan motivator serta
komunikator dalam pembangunan di berbagai
bidang. Pemimpin
harus dapat menjalankan ketiga fungsi itu dalam kelompoknya. Dalam struktur organisasi, peran
seorang pemimpin tidak ada artinya tanpa dukungan rakyatnya. Hubungan antara pemimpin dan rakyat merupakan hal yang mutlak karena keduanya saling membutuhkan dan saling melengkapi. Hubungan yang
demikian itu dapat digambarkan dengan menggunakan sebuah pepatah Jawa: kaya godhong suruh lumah lan
kurebe yen disawang beda
rupane, yen dimamah gineget padha rasane.
Hubungan antara
pemimpin dan rakyat dapat
pula
digambarkan sebagai hubungan patron-cilent (patronase), yaitu hubungan antara bapak dan anak. Bapak (pemimpin) berkewajiban
melindungi anak-anaknya, sedangkan anak-anak harus patuh kepada bapaknya sebagai pemimpin
(Koentjaraningrat, 1981: 191). Hubungan
antara pemimpin dan anggotanya sering kali bertolak
dari kebutuhan anggotanya (Legg, 1983: 21).
Dalam
kedudukan sosial, seorang pemimpin berperan mengontrol dan mengawasi serta
menggerakkan segala aktivitas dalam masyarakatnya. Pemimpin yang baik akan
dianggap oleh anggotanya sebagai cermin, guru, dan tokoh kunci (key person) dalam pembangunan.
6. Simpulan
Dalam setiap lembaga termasuk dalam
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara selalu dibutuhkan kehadiran seorang pemimpin. Peran (role) seorang pemimpin sangat
sentral dan
strategis karena ia dibutuhkan
sebagai motivator, mediator, dan komunikator dalam pembangunan.
Seorang pemimpin dalam menjalankan kepemimpinannya harus
mendapatkan legitimasi dari
masyarakatnya. Sikap pemimpin yang sesuai dengan model kepemimpinan dan sifat-sifat ideal dianggap mulia akan
menjadikan seorang pemimpin sebagai idola bagi masyarakat yang dipimpinannya. Ada beragam tipe
atau model kepemimpinan dan sifat-sifat ideal pemimpin, tetapi dalam artikel
ini lebih ditekankan pada model
kepemimpinan
tradisional Jawa dan Islam termasuk pandangan Islam terhadap pluralisme
yang berhubungan dengan kepemimpinan dan kedaulatan bangsa. Model
kepemimpinan dan sifat-sifat pemimpin itu dipandang lebih selaras dengan
kondisi masyarakat Indonesia yang plural dan mayoritas menganut Islam.
Pembicaraan tentang kepemimpinan dan pemimpin yang
ideal menjadi penting ketika dihadapkan pada kenyataan bahwa pemilihan pemimpin hampir di semua level pada
saat ini telah tercoreng
oleh praktik politik
uang dan janji-janji yang muluk tetapi tidak ditepati. Kondisi itu pada gilirannya
mendorong terjadinya degradasi dan pergeseran nilai
budaya dalam masyarakat, terutama menyangkut kepemimpinan. Para pemimpin sudah
seharusnya berusaha menjalin hubungan yang membuatnya dekat dengan rakyat. Tanpa rakyat, mereka
tidak dapat
berbuat apa-apa. Inilah bentuk kerinduan rakyat terhadap
para pemimpinnya.
DAFTAR PUSTAKA
Amini, Ibrahim. 2006. Para Pemimpin Teladan. Jakarta: Al-Huda.
As-Salus, Ali. 1997. Imamah dan Khalifah dalam Tinjauan Syar’i. Jakarta: Gema Insani
Press.
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
1996. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Edisi
Kedua. Jakarta: Balai Pustaka.
Kartono, Kartini. 1982. Pemimpin dan Kepemimpinan. Jakarta:
Rajawali.
Khomeini, Imam. 2002. Sistem Pemerintahan Islam. Jakarta:
Pustaka Zahra.
Koentjaraningrat. 1979. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta:
Aksara.
Koentjaraningrat. 1980. Beberapa Pokok Antropologi. Jakarta: Balai Pustaka.
Koentjaraningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
Legg, Keit R. 1983. Tuan Hamba dan Politisi. Jakarta: Sinar
Harapan.
Meredith, Geofrey G.. t.t.. Kewirausahaan: Teori dan Praktek.
Jakarta: PPM.
Prasojo, Budi. 1982. Pembangunan Desa dan Masalah Kepemimpinnya.
Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu Sosial.
Rakhmat, Jalalaludin. 2003. Filsafat Politik Islam
antara Al-Farabi dan Khomeini dalam Rahmaini.
Bandung: Mizan.
Sartono Kartodirdjo. 1975. Sejarah Nasional Indonesia. Jilid IV.
Jakarta: Depdikbud.
Sartono Kartodirdjo. 1976. Protest Movement in Rural Java. London: Oxford University Press.
Sartono Kartodirdjo. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia: Suatu Alternatif.
Jakarta; PT. Gramedia.
Siagian, Sondang. 1981. Administrasi Pembangunan. Jakarta:
Gunung Agung.
Soekanto, Soejono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Djakarta:
PT. Radjawali.
Soekanto, Soejono. 1982. Teori Sosiologi tentang Pribadi dalam Masyarakat. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Subagyo, Rahmat. 1981. Agama Asli Indonesia. Jakarta: Sinar
Harapan dan Loka Cipta Caraka.
Sumiyo, Wahyu. 1984. Kepemimpinan
dan Motivasi.
Jakarta: Ghalia Indonesia.
Sutherland, Heather. 1983. Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi
(diindonesiakan oleh Sunarto). Jakarta: Sinar Harapan.
Syarmani, Abdullah. 1978. Pembangunan Partisipasi Masyarakat dalam
Pembangunan Pertanian di Pedesaan dalam Repelita III. Jakarta: Agro
Ekonomi.
Tiwikromo, Triyanto. 2008. “Kepemimpinan Jawa dalam
Masyarakat Kotemporer”, makalah disajikan dalam Seminar Budaya untuk Memperingati Hari Jadi Kota Semarang ke-461 di Gedung Balaikota
Semarang, 17 Mei
2008.
Posting Komentar